Nusantara dalam konsep kenegaraan Jawa Majapahit


  Nusantara dalam konsep kenegaraan Jawa Majapahit

Dalam konsep kenegaraan Jawa di abad ke-13 hingga ke-15, raja adalah "Raja-Dewa": raja yang memerintah adalah juga penjelmaan dewa. Karena itu, daerah kekuasaannya memancarkan konsep kekuasaan seorang dewa. Kerajaan Majapahit dapat dipakai sebagai teladan. Negara dibagi menjadi tiga bagian wilayah:
  1. Negara Agung merupakan daerah sekeliling ibu kota kerajaan tempat raja memerintah.
  2. Mancanegara adalah daerah-daerah di Pulau Jawa dan sekitar yang budayanya masih mirip dengan Negara Agung, tetapi sudah berada di "daerah perbatasan". Dilihat dari sudut pandang ini, Madura dan Baliadalah daerah "mancanegara". Lampung dan juga Palembang juga dianggap daerah "mancanegara".
  3. Nusantara adalah daerah di luar pengaruh budaya Jawa tetapi masih diklaim sebagai daerah taklukan: para penguasanya harus membayar upeti.
Gajah Mada menyatakan dalam Sumpah PalapaSira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukita palapa, sira Gajah Mada : Lamun huwus kalah Nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring SeramTanjungpura, ring Haru, ring Pahang,Dompo, ring BaliSundaPalembangTumasik, samana ingsun amukti palapa.
Terjemahannya adalah: "Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada, "Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa".
Kitab Negarakertagama mencantumkan wilayah-wilayah "Nusantara", yang pada masa sekarang dapat dikatakan mencakup sebagian besar wilayah modern Indonesia (Sumatra, Kalimantan, Nusa Tenggara, sebagian Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya, sebagian Kepulauan Maluku, dan Papua Barat) ditambah wilayah MalaysiaSingapuraBrunei dan sebagian kecil Filipina bagian selatan. Secara morfologi, kata ini adalah kata majemuk yang diambil dari bahasa Jawa Kuna nusa ("pulau") dan antara (lain/seberang).

Dwipantara

Kini kebanyakan sejarawan Indonesia percaya bahwa konsep kesatuan Nusantara bukanlah pertama kali dicetuskan oleh Gajah Mada dalam Sumpah Palapa pada tahun 1336, melainkan dicetuskan lebih dari setengah abad lebih awal oleh Kertanegara pada tahun 1275. Sebelumnya dikenal konsep Cakrawala Mandala Dwipantara yang dicetuskan oleh Kertanegara, raja Singhasari.[2] Dwipantara adalah kata dalam bahasa Sanskerta untuk "kepulauan antara", yang maknanya sama persis dengan Nusantara, karena "dwipa" adalah sinonim "nusa" yang bermakna "pulau". Kertanegara memiliki wawasan suatu persatuan kerajaan-kerajaan Asia Tenggara di bawah kewibawaan Singhasari dalam menghadapi kemungkinan ancaman serangan Mongol yang membangun Dinasti Yuan di Tiongkok. Karena alasan itulah Kertanegara meluncurkan Ekspedisi Pamalayu untuk menjalin persatuan dan persekutuan politik dengan kerajaanMalayu Dharmasraya di Jambi. Pada awalnya ekspedisi ini dianggap penaklukan militer, akan tetapi belakangan ini diduga ekspedisi ini lebih bersifat upaya diplomatik berupa unjuk kekuatan dan kewibawaan untuk menjalin persahabatan dan persekutuan dengan kerajaan Malayu Dharmasraya. Buktinya adalah Kertanegara justru mempersembahkan Arca Amoghapasa sebagai hadiah untuk menyenangkan hati penguasa dan rakyat Malayu. Sebagai balasannya raja Melayu mengirimkan putrinya; Dara Jingga dan Dara Petak ke Jawa untuk dinikahkan dengan penguasa Jawa.

Penggunaan modern

Pada tahun 1920-an, Ki Hajar Dewantara memperkenalkan nama "Nusantara" untuk menyebut wilayah Hindia Belanda. Nama ini dipakai sebagai salah satu alternatif karena tidak memiliki unsur bahasa asing ("India"). Alasan ini dikemukakan karena Belanda, sebagai penjajah, lebih suka menggunakan istilah Indie ("Hindia"), yang menimbulkan banyak kerancuan dengan literatur berbahasa lain. Definisi ini jelas berbeda dari definisi pada abad ke-14. Pada tahap pengusulan ini, istilah itu "bersaing" dengan alternatif lainnya, seperti "Indonesië" (Indonesia) dan "Insulinde" (berarti "Hindia Kepulauan"). Istilah yang terakhir ini diperkenalkan oleh Eduard Douwes Dekker.[1]
Ketika akhirnya "Indonesia" ditetapkan sebagai nama kebangsaan bagi negara independen pelanjut Hindia-Belanda pada Kongres Pemuda II (1928), istilah Nusantara tidak serta-merta surut penggunaannya. Di Indonesia, ia dipakai sebagai sinonim bagi "Indonesia", baik dalam pengertian antropo-geografik (beberapa iklan menggunakan makna ini) maupun politik (misalnya dalam konsep Wawasan Nusantara).

"Nusantara" dan "Kepulauan Melayu"

Literatur-literatur Eropa berbahasa Inggris (lalu diikuti oleh literatur bahasa lain, kecuali Belanda) pada abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20 menyebut wilayah kepulauan mulai dari Sumatera hingga Kepulauan Rempah-rempah (Maluku) sebagai Malay Archipelago("Kepulauan Melayu")[3]. Istilah ini populer sebagai nama geografis setelah Alfred Russel Wallace menggunakan istilah ini untuk karya monumentalnya. Pulau Papua (New Guinea) dan sekitarnya tidak dimasukkan dalam konsep "Malay Archipelago" karena penduduk aslinya tidak dihuni oleh cabang ras Mongoloid sebagaimana Kepulauan Melayu dan secara kultural juga berbeda. Jelas bahwa konsep "Kepulauan Melayu bersifat antropogeografis (geografi budaya). Belanda, sebagai pemilik koloni terbesar, lebih suka menggunakan istilah "Kepulauan Hindia Timur" (Oost-Indische Archipel) atau tanpa embel-embel timur.
Ketika "Nusantara" yang dipopulerkan kembali tidak dipakai sebagai nama politis sebagai nama suatu bangsa baru, istilah ini tetap dipakai oleh orang Indonesia untuk mengacu pada wilayah Indonesia. Dinamika politik menjelang berakhirnya Perang Pasifik (berakhir 1945) memunculkan wacana wilayah Indonesia Raya yang juga mencakup Britania Malaya (kini Malaysia Barat) dan Kalimantan Utara[4]. Istilah "Nusantara" pun menjadi populer di kalangan warga Semenanjung Malaya, berikut semangat kesamaan latar belakang asal-usul (Melayu) di antara penghuni Kepulauan dan Semenanjung.
Pada waktu negara Malaysia (1957) berdiri, semangat kebersamaan di bawah istilah "Nusantara" tergantikan di Indonesia dengan permusuhan yang dibalut politik Konfrontasi oleh Soekarno. Ketika permusuhan berakhir, pengertian Nusantara di Malaysia tetap membawa semangat kesamaan rumpun. Sejak itu, pengertian "Nusantara" bertumpang tindih dengan "Kepulauan Melayu".
Sumber:http://id.wikipedia.org/wiki/Nusantara#Nusantara_dalam_konsep_kenegaraan_Jawa_Majapahit


Reply to this post

Posting Komentar